Bab 2 – Pelayan Istana dan Bayangan Kudeta
Matahari baru saja terbit di ufuk timur saat Kael Arkhen melangkah keluar dari kamar mewahnya. Meski tubuhnya milik seorang pemuda berusia lima belas tahun, langkahnya tetap mantap seperti seorang veteran perang. Matanya mengamati setiap sudut rumah bangsawan kecil ini — mencatat titik lemah, pintu keluar, dan bahkan posisi penjaga.
"Lemah," gumamnya. "Kalau ini benteng, sudah hancur sejak kemarin."
Seorang pelayan muda menghampirinya, membawa semangkuk bubur dan segelas air jernih. Wajahnya manis, rambut dikepang dua, dan tubuhnya tampak kurus karena kerja keras.
"Tuan muda… apakah Anda butuh sesuatu lagi?" tanyanya gugup.
Kael menatap pelayan itu tajam. Ia tak bisa mengingat nama gadis ini, tapi ingatannya sebagai Kael Arden memberinya kemampuan membaca bahasa tubuh, tekanan suara, bahkan motif tersembunyi.
"Nama kamu siapa?" tanyanya.
Gadis itu terkejut. "S-Saya… Liria, Tuan. Pelayan pribadi Anda sejak kecil."
Kael mengangguk. "Kau tidak perlu takut padaku."
Liria menunduk dalam, seolah menyembunyikan sesuatu. Tapi sebelum Kael bisa bertanya lebih jauh, suara ketukan cepat terdengar di pintu utama.
DOR! DOR! DOR!
"Pihak kerajaan!" seru salah satu penjaga sambil tergopoh-gopoh masuk ke aula utama. "Utusan dari ibu kota meminta semua keluarga bangsawan minor hadir di istana dalam tiga hari!"
Kael mengepalkan tangannya. Cepat sekali… mereka bergerak.
Kerajaan Sirevar — Sebuah Gunung Es Politik
Dari percakapan para pelayan dan bisik-bisik penjaga, Kael menyadari satu hal: kerajaan tempat tubuh barunya tinggal ini sedang dalam kekacauan diam-diam.
Raja tua sedang sakit. Putra mahkota hilang. Faksi bangsawan kuat mulai saling mencurigai. Dan seseorang — entah siapa — mulai membunuh satu per satu bangsawan lemah.
"Mereka menganggap keluarga Arkhen tidak penting," pikir Kael. "Tapi aku akan buat mereka menyesal."
Rahasia Liria
Malam itu, Kael memanggil Liria kembali ke kamarnya.
"Bicara jujur, Liria," katanya lembut. "Kamu menyembunyikan sesuatu pagi tadi."
Liria menggigit bibir bawahnya. "Saya… tidak ingin Anda ikut pergi ke istana, Tuan."
"Kenapa?"
"Karena keluarga Tuan dulu dibuang dari istana. Ayah Anda dihukum karena menolak ikut konspirasi perebutan tahta. Dan mereka… mereka ingin memastikan tidak ada yang kembali untuk membalas dendam."
Kael terdiam. Kini semuanya jelas.
Tubuh yang ia huni sekarang milik seorang putra bangsawan buangan.
Namun, ia bukan hanya seorang anak muda biasa.
Dia adalah Jenderal Kael Arden.
"Liria," katanya pelan, "aku tidak akan mati seperti yang mereka harapkan. Aku akan kembali ke istana, dan kali ini… bukan sebagai tamu, tapi sebagai ancaman."