đ BAB 3 â Kebangkitan dari Kegelapan
Gelap.Tidak ada cahaya, tidak ada suara selain gema langkah kaki asing di dalam kekosongan.Aeryn tidak tahu berapa lama ia berada di sana. Seolah waktu berhenti ketika tubuhnya dilalap api lima tahun lalu.
Tubuhnya seharusnya hancur menjadi abu. Tapi kesadarannyaâjiwanyaâtidak hilang. Ia terjebak di antara dunia manusia dan dunia kematian.
Lalu, di tengah kehampaan itu, suara itu datang.
"Kemarahanmu⊠panggil aku."
Suara itu dalam, serak, seperti bisikan dari jurang neraka. Dari kegelapan, sebuah bayangan munculâtinggi, kurus, dan berbalut jubah kabut hitam. Matanya merah menyala, wajahnya selalu berubah-ubah, tak bisa dikenali.
"Siapa⊠kau?" tanya Aeryn, suaranya bergetar, antara takut dan penasaran.
"Aku yang mendengar teriakanmu saat api melahap tubuhmu.""Aku yang merasakan dendammu lebih pekat dari darah yang menetes di bumi ini.""Aku bisa memberimu kekuatan⊠asal kau berani membayar harganya."
Bayangan itu mengulurkan tangan yang kurus panjang, jarinya seperti tulang.
Aeryn menatap tangan itu lama. Kenangan pengkhianatan itu berputar lagi di kepalanyaâKael, lelaki yang ia cintai, membakarnya tanpa ragu. Seraphine, wanita yang menjebaknya, tersenyum puas. Wajah para bangsawan yang mencaci dan meludahinya.
"Apa⊠harganya?" bisik Aeryn.
"Jiwamu."
Jawaban itu menggema di dalam kekosongan.
Aeryn menatap sosok bayangan itu tanpa berkedip. Dulu, ia mungkin akan menolak. Dulu, ia mungkin akan menangis ketakutan. Tapi sekarang, hanya ada satu hal di dalam dirinyaâdendam.
"Ambil," katanya, suaranya dingin dan tegas. "Ambil jiwaku. Beri aku kekuatan⊠biar aku sendiri yang menghabisi mereka."
Bayangan itu mengeluarkan suara tawa rendah, seperti suara batu bergesekan.
"Baiklah⊠mulai malam ini, kau bukan lagi Aeryn Valeria yang dulu.""Kau adalah bayanganku di dunia. Kau adalah malam itu sendiri."
Seketika, kegelapan menelan tubuh Aeryn. Kabut hitam menjerat kulitnya, menyusup ke dalam darah, merobek dan membentuk ulang dagingnya. Ia menjerit, tubuhnya seperti terbakar lagiâtapi kali ini, api itu bukan api kematian. Ini adalah api kebangkitan.
Ketika ia membuka matanya, cahaya merah bulan darah memantul di bola matanya yang kini bersinar perak dingin. Rambutnya, yang dulu cokelat lembut, berubah menjadi hitam pekat dengan ujung berkilau merah. Di lengannya, terbentuk tato hitam yang berdenyut seperti hidup.
Di hadapannya, bayangan itu berbisik untuk terakhir kalinya:
"Bangkitlah, Aeryn⊠bawa kegelapan bersamamu."
Lima tahun kemudian.
Seorang perempuan berbalut jubah hitam berdiri di tebing, menatap ke arah istana Elvaria dari kejauhan. Bulan darah menggantung di langit, kabut mengelilinginya. Dari balik jubahnya, suara bisikan-bisikan kecil terdengarâbisikan arwah yang ia bawa.
Aeryn tersenyum tipis. Senyum itu bukan senyum kebahagiaan, tapi janji.
"Kael. Seraphine. Raja. Semua orang yang menertawakan aku malam ituâŠ"
Matanya berkilat tajam, dan kata-kata terakhirnya keluar seperti mantra kematian:
"Malam ini, aku pulang."