📖 BAB 4 – Korban Pertama
Kabut malam menyelimuti desa kecil di kaki bukit Elvaria. Desa itu tenang, terlalu tenang, hingga suara langkah ringan di jalan berbatu terdengar jelas.
Aeryn berjalan perlahan, jubah hitamnya tersapu angin, menutupi wajahnya yang pucat namun memancarkan aura dingin. Bayangan gelap mengikuti setiap gerakannya, seperti kabut hidup yang berbisik di udara.
"Dia ada di sini…" bisik suara-suara itu, menggema di telinga Aeryn, suara arwah yang kini mengikutinya."Dia yang dulu memukulimu saat kau berteriak meminta ampun…."
Nama itu muncul di benak Aeryn.Gareth.
Dulu, Gareth hanyalah kapten penjaga kota, seorang lelaki berbadan besar dengan mata penuh kesombongan. Dialah yang pertama kali menyeret Aeryn keluar dari kamarnya malam itu, menendangnya ke tanah, mengikat tangannya dengan rantai besi, dan memukulnya saat ia memohon penjelasan.
Sekarang, Gareth hanya seorang pria tua yang tinggal di desa terpencil, menghabiskan malamnya dengan minuman murahan. Tapi itu tidak membuatnya selamat.
Di dalam rumah kayu lusuh itu.
Gareth duduk di kursi reyot, menenggak arak dari botol tanah liat. Matanya setengah tertutup, pipinya memerah, nafasnya berat.
"Bodoh…" gerutunya, menatap ke arah perapian yang hampir padam. "Perempuan itu sudah lama mati. Hanya arwah bodoh yang percaya dia bisa kembali."
Seketika, api di perapian berkedip… lalu mati.
Gareth mengerutkan dahi. "Apa-apaan ini?"
Angin dingin berhembus di dalam rumah yang tertutup rapat. Lilin di meja padam. Suara kayu lantai berderit—tap… tap… tap…
Pintu rumah terbuka dengan sendirinya. Kabut hitam merayap masuk, melingkari kursi Gareth.
"Siapa di sana?!" teriaknya, mencoba berdiri, tapi lututnya lemah karena terlalu banyak minum.
Dari kabut itu, seorang perempuan muncul. Wajahnya sebagian tertutup tudung hitam, tapi mata peraknya menembus kegelapan seperti pedang.
"Tidak mungkin…" suara Gareth bergetar. "Kau… kau mati!"
Aeryn menatapnya tanpa senyum."Sebenarnya aku mati. Dan kau yang ikut memastikan aku terbakar hidup-hidup, bukan?"
Gareth mundur, tangannya gemetar. "Itu… itu bukan aku yang memutuskan! Itu perintah kerajaan!"
"Dan kau menikmatinya," suara Aeryn tajam seperti belati. "Aku masih ingat tawa mu, Gareth. Tawa ketika kau menamparku di tanah malam itu."
Bayangan di belakang Aeryn mulai bergerak, berubah bentuk menjadi tangan-tangan hitam berasap. Mereka meraih kaki Gareth, menahannya.
"Apa yang kau inginkan?!" teriak Gareth, matanya melebar ketakutan.
Aeryn mendekat, berlutut di depannya. Matanya memantulkan api kecil dari lilin yang mati. Senyumnya perlahan muncul—senyum dingin."Aku hanya ingin kau merasakan apa yang kurasakan."
Jeritan itu pecah malam itu.
Tetapi tidak ada yang mendengar.
Hanya bulan darah yang menjadi saksi saat Gareth diseret ke kegelapan, tubuhnya ditelan oleh kabut hitam. Tidak ada darah. Tidak ada mayat. Hanya suara terakhirnya yang memudar seperti bisikan—dan rasa takut yang menempel di dinding kayu rumah itu.
Di luar rumah, Aeryn berdiri menatap bulan.
Di tangannya, sebuah cincin berlumur kabut hitam berkilau. Cincin itu dulunya milik Gareth, kini menjadi tanda bahwa balas dendamnya telah dimulai.
Ia menatap cincin itu, lalu menggenggamnya erat.
"Ini baru permulaan," bisiknya. "Kael, Seraphine… aku akan datang."