📖 BAB 6 – Pertemuan di Hutan Kabut
Kabut turun tebal di hutan yang mengelilingi Elvaria malam itu. Pohon-pohon menjulang seperti menara hitam, rantingnya seperti cakar yang menggapai langit. Sunyi—tidak ada burung hantu, tidak ada serangga. Hanya suara kuda-kuda yang berjalan pelan dan denting ringan dari zirah para ksatria.
Kael memimpin pasukannya, delapan ksatria terbaik Elvaria, menyusuri jalur setapak yang hanya diterangi obor. Di balik wajah tenang dan dinginnya, pikirannya penuh dengan sesuatu yang tidak ingin ia akui—ketakutan.
"Komandan," ujar salah satu ksatria dengan suara pelan. "Apakah benar kabar itu? Bahwa kabut ini… mengambil orang?"
Kael tidak menjawab. Matanya menatap lurus ke depan, tapi jarinya di gagang pedang sedikit mengencang."Kau ksatria Elvaria. Jangan gentar hanya karena kabut," katanya dingin, tapi dalam hatinya ia merasakan hal yang sama.
Beberapa langkah kemudian, kabut itu semakin tebal.Begitu tebal, obor mereka seperti kehilangan cahayanya.
Dan di tengah kabut itu—dia berdiri.
Sosok seorang perempuan, berdiri tegak di jalan setapak, jubah hitamnya berkibar ringan meski angin tidak berhembus. Wajahnya tersembunyi di balik tudung, tapi aura gelap menguar dari tubuhnya, membuat para kuda meringkik gelisah.
"Siapa kau?!" teriak salah satu ksatria, mengangkat pedangnya.
Perempuan itu tidak menjawab. Ia hanya menatap—atau setidaknya, mereka semua merasakan tatapan dingin menembus jiwa mereka.
Kael menahan kudanya, menatap sosok itu tajam. Ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang… familiar.
"Aku komandan ksatria kerajaan," Kael berkata, suaranya tegas. "Katakan siapa kau dan apa yang kau lakukan di sini."
Perempuan itu mengangkat kepalanya sedikit. Tudungnya bergeser, memperlihatkan sebagian wajahnya. Kulitnya pucat, matanya—mata itu—berkilau perak di kegelapan.
Para ksatria menegang. Satu langkah dia ambil, dan kabut seolah mengikuti gerakannya.
"Aku hanya seorang pengelana," jawabnya dengan suara tenang tapi dalam, suara yang seolah menggema di dalam kepala mereka. "Dan aku mencari… mereka yang berdosa."
Ketegangan memuncak.
Salah satu ksatria maju dengan kasar, menunjuk pedangnya."Jangan main-main! Kau yang membuat Gareth hilang, ya?!"
Aeryn (karena memang dialah perempuan itu) hanya menoleh sedikit, matanya menatap ksatria itu datar. Bibirnya membentuk senyum samar—senyum yang tidak membawa kehangatan, hanya ancaman.
"Apa kau ingin tahu… di mana Gareth sekarang?" tanyanya pelan.
Ksatria itu terdiam seketika, rasa dingin merambat dari kakinya ke tulang belakang.
Kael maju selangkah, menghentikan ketegangan.
"Cukup," katanya, matanya tetap mengawasi perempuan itu. "Kami hanya mencari jawaban. Jika kau tidak bersalah, kau tidak perlu takut."
Untuk sesaat, mata perak itu menatapnya langsung. Dan di detik itu juga, jantung Kael berdegup keras. Ada sesuatu di mata itu—sesuatu yang membuatnya ingat seseorang.
Aeryn.
Nama itu hampir terucap di bibirnya, tapi ia menahannya. Tidak mungkin. Tidak mungkin itu dia.
Perempuan itu menatapnya lama, lalu tersenyum tipis."Takut bukan sesuatu yang aku rasakan," bisiknya.
Dan tiba-tiba, kabut meledak.
Dalam sekejap, sosok itu menghilang, meninggalkan hanya kabut pekat dan hawa dingin yang menekan dada. Para ksatria panik, mencari-cari, tapi hanya suara Kael yang terdengar, dalam dan berat:
"Dia bukan orang biasa."
Di atas pohon tinggi, Aeryn menatap mereka dari kegelapan.
Ia menatap Kael lama, senyum samar menghiasi bibirnya.
"Kau masih sama, Kael… dan aku akan pastikan kau tahu rasa sakit yang pernah kau berikan padaku."
Kabut menelan dirinya lagi, meninggalkan hanya bisikan lembut yang nyaris tak terdengar di hutan itu.