BAB 11 – Jejak yang Terlihat
Malam itu, hujan turun deras di atas Elvaria. Jalanan berbatu mengkilap, memantulkan cahaya obor dari menara-menara penjaga.Di ruang kerja Komandan Kael, lilin berkelip-kelip di meja kayu besar yang penuh laporan.
Kael berdiri di sana, masih mengenakan baju zirah separuh terlepas, rambutnya basah oleh hujan. Matanya tajam menatap tumpukan dokumen, tapi pikirannya tak benar-benar fokus pada kata-kata di depannya.
Yang terus muncul di benaknya adalah mata itu.Mata perak dari perempuan yang menyebut dirinya Lyra.
Tidak mungkin… tapi tatapan itu…
Kael menutup mata, dan kenangan itu kembali—malam eksekusi Aeryn. Jeritannya. Tatapan kecewanya. Api yang menelan tubuhnya. Dan kini, lima tahun kemudian, mata yang sama menatapnya lagi.
Ia membuka mata, menghela napas dalam, dan berkata pada dirinya sendiri:"Aku harus tahu siapa dia."
Sementara itu, di sisi lain kota…
Toko ramuan kecil itu kini sunyi. Lilin padam satu per satu, menyisakan hanya satu cahaya di sudut ruangan.Aeryn duduk di meja kayu, menulis sesuatu di buku tua yang lusuh.
Halaman-halaman itu berisi daftar nama—orang-orang yang berkhianat pada malam kematiannya.
Jari Aeryn meluncur di atas satu nama yang ia coret dengan tinta hitam pekat: Gareth.Nama itu sudah selesai.
Matanya kemudian berhenti di nama berikutnya. Bibirnya membentuk senyum dingin.
Baron Eldric.
Bangasawan tua yang menandatangani surat eksekusinya tanpa ragu, lalu menonton dengan segelas anggur di tangan.
"Dia yang berikutnya," bisik Aeryn pada dirinya sendiri.
Kabut tipis keluar dari bawah meja, membentuk bayangan menyerupai wajah-wajah arwah yang menjerit pelan.
"Ambil dia… tarik dia… ke dalam kegelapan."
Aeryn menutup buku itu, berdiri, dan menatap jendela yang memperlihatkan istana di kejauhan.
"Tidak buru-buru," katanya dingin. "Aku akan menunggu malam yang tepat. Malam ketika dia paling merasa aman."
Di markas ksatria, Kael memanggil dua orang kepercayaannya.
"Aku ingin laporan tentang tabib baru itu," katanya tegas. "Namanya Lyra. Cari tahu darimana dia datang, siapa yang mengenalnya, bahkan di mana dia tidur malam ini."
"Komandan," salah satu prajurit ragu-ragu, "kau mencurigainya?"
Kael menatap lurus ke mata prajurit itu.
"Ya," jawabnya tanpa keraguan. "Ada sesuatu yang dia sembunyikan. Dan aku akan menemukannya."
Di malam yang sama, di sebuah kediaman mewah…
Baron Eldric menutup pintu ruang kerjanya, mengunci dengan tiga gembok, lalu menuang anggur ke gelas peraknya. Lelaki tua itu tidak tahu bahwa dari balik jendela, sepasang mata perak mengawasinya.
Aeryn berdiri di atap seberang rumah, jubah hitamnya berkibar ringan. Dari bawah tudung, senyumnya muncul.
"Tidurlah nyenyak malam ini, Baron," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar."Besok, kau tidak akan bangun lagi."
Kabut hitam merambat turun dari atap, seperti bayangan yang hidup—mencari celah, menunggu saat yang tepat.