BAB 15 – Permainan Bayangan
Malam itu, Lady Seraphine tidak bisa tidur.
Kamar pribadinya dipenuhi cahaya lilin, tapi kegelapan terasa seperti merembes dari dinding. Ia berbaring di tempat tidur sutra merahnya, matanya menatap langit-langit, pikiran berputar-putar.
Mata perak itu… senyum itu… kata-kata itu.
Setiap kali ia memejamkan mata, wajah Aeryn muncul. Aeryn, lima tahun lalu—berteriak, terikat di tiang eksekusi, mata itu menatapnya dengan kebencian murni.
Sebuah suara kecil di kepalanya berbisik:"Dia kembali… dan dia datang untukmu."
Seraphine bangun dengan kasar, menjatuhkan gelas anggur dari meja samping. Cairan merah mengalir di lantai seperti darah.
"Tidak… dia sudah mati!" serunya, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Tapi nada suaranya bergetar—dan ketakutan itu semakin nyata.
Di markas ksatria, Kael juga tidak bisa tidur.
Ia duduk di meja kerjanya, liontin biru milik Aeryn ada di genggamannya. Ia memutar liontin itu, matanya sayu, pikirannya kalut.
Lyra… atau siapapun dia… matanya itu…
Kael menutup mata, dan sekali lagi ia melihat Aeryn—senyumnya dulu, tawa ringannya, dan akhirnya tatapan dingin di malam eksekusi.
Ia menghela napas dalam, suara pelan keluar dari bibirnya:"Kalau itu memang kau, Aeryn… apa yang kau inginkan dariku?"
Sementara itu, di toko ramuan yang sunyi…
Aeryn duduk di kursinya, memandangi lilin kecil di meja. Kabut hitam merayap dari bawah meja, mengelilinginya seperti pelindung.
Ia menulis sesuatu di buku lusuhnya—buku berisi daftar dendam. Nama Baron Eldric sudah tercoret. Nama Seraphine disorot dengan tinta hitam pekat.
Tapi di bawah nama itu, ada nama lain yang ia tulis dengan tangan bergetar.
Kael.
Jari Aeryn berhenti di atas nama itu. Senyumnya hilang untuk sesaat, digantikan oleh kilatan emosi campur aduk—amarah, kerinduan, dan sesuatu yang tidak ia akui bahkan kepada dirinya sendiri.
"Kael…" bisiknya pelan. "Aku ingin kau menderita… tapi kenapa hatiku masih bergetar setiap kali aku mengingatmu?"
Di istana, Seraphine memanggil seorang pria berjas hitam.
"Cari tahu segalanya tentang tabib itu. Lyra," katanya dengan nada tegas, meski suaranya terdengar sedikit panik. "Darimana dia datang, siapa yang mengikutinya, bahkan apa yang dia makan."
Pria itu membungkuk. "Baik, Nona. Tapi… apa Anda takut?"
Seraphine menatapnya tajam. "Aku tidak takut. Aku hanya… berhati-hati."
Tapi saat pria itu pergi, Seraphine berdiri di jendela kamarnya, menatap ke luar, ke arah hutan yang gelap. Dan di hatinya, ketakutan itu sudah tumbuh, menelannya perlahan.
Malam itu, Aeryn berdiri di atas atap salah satu gedung tertinggi Elvaria.
Dari sana, ia melihat semuanya—pasar, istana, dan rumah-rumah bangsawan. Angin malam menggoyang rambut hitamnya, mata peraknya bersinar lembut di bawah cahaya bulan.
Kabut tipis merayap di sekitar kakinya, berbisik dengan suara yang hanya ia dengar.
"Kau membuat mereka takut…""Ketakutan mereka manis…"
Aeryn tersenyum tipis."Ketakutan hanyalah permulaan," gumamnya."Aku akan membuat mereka melihat bayangan mereka sendiri… dan kehilangan akal."
Di tempat berbeda, Kael berdiri di balkon markas ksatria.
Tanpa ia sadari, pandangannya tertuju ke arah toko ramuan kecil di ujung jalan.Ia menggenggam liontin itu lebih erat.
Aku harus tahu siapa dia. Aku harus… sebelum segalanya terlambat.