BAB 16 – Tatapan dalam Kegelapan
Malam itu, markas ksatria terasa terlalu sunyi.
Kael berdiri di balkon menara pengawas, tatapannya mengarah ke jalanan kota yang gelap. Obor-obor jalan berkelip, tapi di beberapa titik, kabut tipis terlihat mengalir pelan, seperti makhluk hidup.
Ia menggenggam liontin biru di tangannya—liontin Aeryn.
Jika itu benar-benar kau, Aeryn… kenapa kau bersembunyi di balik nama lain?
Kael tidak sadar jemarinya bergetar sedikit. Ia mencoba menyangkal perasaannya, tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang mulai retak—rasa bersalah yang selama ini ia pendam.
Tiba-tiba, suara langkah terdengar di belakangnya.
Pelan. Ringan. Tapi setiap langkahnya bergema di balkon batu itu.
Kael berbalik cepat, tangannya langsung menggenggam gagang pedang.
Di sana, berdiri seorang perempuan dengan jubah hitam tipis, tudungnya menutupi sebagian wajahnya. Lyra.
"Atau… Aeryn?" pikir Kael tanpa sadar.
"Apa yang kau lakukan di sini malam-malam?" suara Kael terdengar lebih tajam daripada yang ia maksudkan.
Aeryn melangkah maju perlahan, bayangan bulan memantul di mata peraknya. Senyum samar muncul di bibirnya, senyum yang bisa ditafsirkan sebagai ramah—atau mengancam.
"Tidak bisa tidur," jawabnya tenang. "Kabut malam ini… mengundang."
Hening.
Hanya suara angin yang terdengar. Tatapan mereka bertemu.
Kael merasakan dadanya mengencang. Tatapan itu—mata perak itu—membawa kembali semua kenangan yang ia coba kubur.
"Matamu…" gumam Kael pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Aku pernah mengenal seseorang dengan mata seperti itu."
Aeryn memiringkan kepalanya, senyumnya tidak hilang."Banyak orang bermata perak, Komandan. Atau… mungkin kau hanya dihantui wajah dari masa lalu?"
Kata-kata itu seperti pisau. Kael terdiam, wajahnya menegang.
Aeryn mendekat setapak lagi, jarak mereka kini hanya beberapa langkah. Angin malam menggoyang ujung rambut hitamnya, membawa aroma samar herbal dari tokonya—tapi ada juga aroma lain, aroma kegelapan yang tidak bisa dijelaskan.
"Kenapa kau datang ke Elvaria, Lyra?" Kael bertanya, suaranya dalam."Kenapa kau muncul sekarang, ketika… semua mulai berubah?"
Aeryn menatap langsung ke matanya, dan kali ini senyumnya menghilang. Suaranya berubah lebih pelan, hampir seperti bisikan di telinganya.
"Kadang, masa lalu tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya… menunggu."
Suasana menegang.
Kael merasa langkahnya goyah. Ada sesuatu dalam suara itu—dalam tatapan itu—yang membuatnya ingin mengucapkan nama yang selama ini ia pendam.
"Aeryn…" kata itu nyaris lolos dari bibirnya, tapi ia menggigit lidahnya, menghentikannya.
Aeryn memperhatikan perubahan kecil di wajah Kael. Senyum tipisnya kembali, kali ini dengan kilatan licik.
"Aku akan pergi," katanya ringan, membalikkan badan. "Jangan biarkan kabut malam ini membuatmu mimpi buruk, Komandan."
Dan sebelum Kael bisa menahan atau bertanya lagi, Aeryn melangkah ke bayangan—dan kabut menelannya.Hilang.
Kael berdiri sendiri di balkon.
Tangannya masih menggenggam liontin Aeryn. Napasnya berat. Dadanya terasa seperti dipenuhi batu.
Itu dia. Itu pasti dia.
Tapi jika memang Aeryn kembali, kenapa dia kembali dengan kegelapan?
Di atap bangunan seberang, Aeryn menatap Kael dari balik kabut.
Senyumnya dingin.
"Kau hampir mengatakannya, Kael," bisiknya."Sedikit lagi… dan semua akan runtuh di bawah rasa bersalahmu sendiri."
Kabut menebal di sekitarnya, menelan sosoknya sekali lagi.