BAB 19 – Bayangan di Siang Hari
Siang itu, langit Elvaria cerah, tapi Kael merasa dunia tidak lagi sama.
Ia berjalan di pasar bersama dua ksatria pengawal, mencoba memeriksa keadaan kota. Tapi setiap langkah terasa berat. Matanya berlingkar hitam, pikirannya kacau—mimpi-mimpi itu masih menghantuinya.
Di antara keramaian pasar, bisikan terdengar."Komandan ksatria terlihat pucat…""Ada apa dengannya?""Katanya dia dihantui…"
Kael mengabaikan bisikan itu. Tapi di dalam dirinya, ia tahu mereka benar.
Lalu, sesuatu terjadi.
Di tengah hiruk pikuk pasar, angin berhembus aneh. Kain lapak pedagang berkibar, dan kabut tipis—kabut tipis di siang bolong—muncul di jalan berbatu.
Orang-orang berhenti bicara. Mata mereka mengikuti kabut itu… sampai kabut itu berkumpul di satu titik, membentuk sosok perempuan.
Lyra.Atau Aeryn.
Ia berdiri di tengah pasar, jubah hitam tipisnya berkibar.
Semua orang menatap, terdiam. Tak ada yang berani mendekat.Hanya Kael yang melangkah maju, tangannya refleks menyentuh gagang pedangnya.
"Kenapa kau di sini?" suaranya berat, hampir seperti geraman.
Aeryn menoleh perlahan, mata peraknya menangkap cahaya matahari—tetap dingin, tetap menembus.Senyumnya muncul, samar tapi menusuk.
"Kenapa?" ia mengulang pertanyaannya dengan suara lembut, hampir seperti godaan."Karena siang dan malam… adalah milikku sekarang."
Keheningan menegang.
Pedagang-pedagang memandang dari jauh, ketakutan tapi juga penasaran.
Kael melangkah lebih dekat, matanya tajam tapi ada kegoyahan di sana.
"Berhenti memainkan pikiranku," katanya. "Kalau kau ingin sesuatu, katakan langsung."
Aeryn melangkah mendekat juga, jarak mereka semakin dekat. Suaranya turun menjadi bisikan yang hanya bisa didengar Kael.
"Aku tidak perlu memainkannya, Kael. Kau yang memainkannya sendiri… dengan rasa bersalahmu."
Kael terdiam. Kata-kata itu menampar hatinya lebih keras dari pedang.
Ia memikirkan malam itu—malam pengkhianatan. Api. Jeritan Aeryn. Keputusannya.Rasa bersalah yang ia pendam selama lima tahun kini menggerogotinya seperti racun.
Matanya bergetar. Ia ingin berteriak, ingin menyangkal, tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokan.
Aeryn tersenyum tipis.
"Kau tahu, Kael," katanya pelan, "ada mimpi yang tak pernah hilang. Dan ada dosa yang tak pernah mati."
Ia mundur selangkah, kabut mengelilingi tubuhnya.
"Aku akan menunggumu… di mimpi berikutnya."
Dan dalam sekejap, kabut itu hilang. Aeryn lenyap di depan mata semua orang, meninggalkan hanya keheningan dan wajah pucat Kael.
Keramaian pecah.
Pedagang berteriak, beberapa berlari. "Itu dia! Perempuan kabut! Sosok gelap!"
Bisikan berubah menjadi kepanikan. Rumor meledak, seperti api yang melahap jerami kering.
Di markas ksatria, Kael kembali dengan langkah berat.
Ia menatap tangannya—masih terasa dingin, seolah tatapan Aeryn menempel di kulitnya.
Aku harus tahu kebenaran.
Matanya memandang ke arah toko ramuan kecil itu.Jika Lyra memang Aeryn, dia tidak akan bisa bersembunyi lebih lama.
Di toko ramuan, Aeryn duduk di kursi, menatap mangkuk air hitam.
Ia tersenyum samar, melihat bayangan Kael di air itu—wajahnya semakin tertekan.
"Rasa bersalahmu akan menghancurkanmu lebih cepat dari pedangku," bisiknya.
Kabut di sekitar kakinya menebal, berbisik:
"Satu demi satu, mereka akan runtuh…"
Aeryn menatap buku dendamnya. Nama berikutnya disorot tinta hitam pekat.
Lady Seraphine.
Senyumnya berubah dingin."Waktumu hampir habis, Seraphine."