📖 BAB 10 – Tatapan yang Mengenali
Hari itu, langit Elvaria mendung. Gerimis tipis turun, membuat jalan berbatu licin dan berkilau oleh cahaya abu-abu. Pasar tidak seramai biasanya; warga lebih banyak memilih berdiam di rumah.
Namun, sebuah keributan kecil terjadi di tengah keramaian yang tersisa.Seorang anak laki-laki kecil terjatuh di jalan, tangannya berdarah karena tergores batu. Sang ibu panik, memanggil tabib yang kini dikenal warga: Lyra.
Toko ramuan kecil di ujung jalan.
Aeryn—dengan identitas "Lyra"—keluar membawa kotak kayu kecil berisi salep herbal."Bawa anak itu kemari," katanya dengan suara tenang tapi tegas.
Wanita itu menyerahkan anaknya dengan wajah cemas. Aeryn berlutut, membersihkan luka anak itu dengan kain basah. Gerakannya lembut, hampir keibuan, membuat anak itu berhenti menangis.
"Tidak sakit lagi," katanya pelan, mengoleskan salep. "Dalam sehari, lukamu akan sembuh."
Warga yang menonton berbisik-bisik kagum. "Tabib Lyra baik sekali…" kata salah satu dari mereka. "Seperti berkah bagi kota ini."
Aeryn tersenyum tipis. Senyum yang tampak hangat… tapi di baliknya, pikirannya tajam seperti bilah pisau.
Namun, saat itu juga… suara langkah berat terdengar.
Dari arah utara pasar, Kael muncul bersama dua ksatria pendamping. Baju zirah perak miliknya berkilau meski cuaca mendung, dan keberadaannya langsung membuat orang-orang memberi jalan.
Aeryn yang sedang berlutut menatap sekilas. Untuk sesaat, waktu terasa berhenti.
Kael.
Lelaki yang dulu ia percayai, lalu mengkhianatinya.
Darah Aeryn berdesir, tapi ia tetap menunduk, memastikan tudung jubahnya menutupi sebagian wajah.
Kael berhenti beberapa langkah di depannya. Tatapannya tajam, namun ada sesuatu di wajahnya—keraguan.
"Apakah kau… tabib keliling yang mereka sebut Lyra?" suara Kael dalam, penuh wibawa.
Aeryn mengangkat wajahnya sedikit, memperlihatkan senyum samar."Benar. Ada yang bisa saya bantu, Komandan Ksatria?"
Mata Kael menatap langsung ke mata perak itu. Seketika, jantungnya berdetak lebih cepat. Ada sesuatu yang ia kenal di sana—tatapan yang pernah ia lihat lima tahun lalu, sebelum api menelan semuanya.
Tidak mungkin… pikir Kael. Aeryn sudah mati. Aku melihatnya sendiri… bukan?
Aeryn menatap balik Kael.
Tatapan mereka bertemu—sejenak, hanya sekejap mata—tapi cukup untuk mengguncang hati Kael.
Di balik senyum tipis itu, ada sesuatu yang menusuk. Dendam.
"Komandan," ujar Aeryn tenang, "kau menatapku seperti kau mengenalku."
Kael terdiam sesaat, suaranya tertahan di tenggorokan."…Mata itu…" gumamnya hampir tak terdengar.
Aeryn memiringkan kepalanya sedikit, tersenyum samar. "Hanya mata, Komandan. Banyak orang bermata perak di dunia ini."
Suasana menegang.
Kael menghela napas dalam, berusaha menenangkan pikirannya."Aku hanya ingin memastikan laporan penjaga. Kota ini harus aman dari ancaman."
Aeryn berdiri perlahan, menatap Kael dari balik tudungnya. Senyum itu masih ada, senyum yang bisa ditafsirkan ramah—atau mengancam, tergantung siapa yang melihat.
"Tenang saja, Komandan," katanya pelan. "Aku hanya seorang tabib. Aku menyembuhkan… bukan melukai."
Kael pergi, tapi pikirannya tidak tenang.
Saat ia berjalan meninggalkan pasar, ia melirik sekali lagi ke arah Aeryn—atau Lyra. Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin bertanya lebih banyak, memaksa jawaban keluar. Tapi ia menahan diri.
Kalau itu memang dia… kenapa dia kembali?
Aeryn menatap punggung Kael yang menjauh.
Senyum dingin muncul di bibirnya.
"Kau menatap mataku, Kael," bisiknya pelan, nyaris seperti doa. "Tapi kau belum tahu apa yang kau lihat. Belum sekarang."
Kabut tipis merambat dari bawah jubahnya, menghilang seiring langkahnya kembali ke toko.