LightReader

Chapter 5 - AYO SERIUS

Sejak Nina menyetujui perjodohan ini, dia berusaha untuk tetap menjaga jarak dan tidak terlalu ikut campur tentang kehidupan pribadi Daniel. Namun tidak dengan Daniel, pria itu menganggap pernikahan yang dia jalani adalah suatu hal yang sah baik dimata hukum dan agama. Walaupun caranya menunjukkan kasih sayang dan kepedulian sedikit berbeda namun dia sangat menghormati setiap batasan dan pernikahan mereka.

"Nina, gua mau ngomong serius" ekspresinya berubah menjadi serius dan menatap Nina cukup lama.

"Ngomong apa? Lo jangan ngeliatin gua gitu dong, serem amat deh"

"Ayo serius sama gua....."

"Maksud lo?"Nina menatap bingung

"Ya serius, maksud gua ayo bikin pernikahan ini berhasil. Gua jadi suami dan lo jadi istri gua tanpa ada embel-embel perjodohan dan sebagainya.." Nina menatap Daniel cukup lama namun akhirnya tertawa.

"Hahaha lo kalau becanda suka lucu deh" Nina berharap Daniel ikut tertawa namun dia tetap menatapnya serius membuat tawanya terhenti.

"Lo serius?" Daniel mengangguk

"Gua maklum kalau lo belum bisa percaya, dan mungkin lo berpikir apa yang gua bicarakan hanya omong kosong tapi gua serius. Ayo kita coba bersama. Kalau dalam satu tahun ini lo gak yakin dan gak ada perasaan sedikitpun buat gua, gua bakalan bebasin lo dari pernikahan ini. Dan gua pasti bertanggung jawab penuh untuk semua biaya, dan waktu yang lo habisin sama gua. Gimana?".

Wait.. wait apa yang bikin lo mikir gini?"

"Yah... sejujurnya gua punya prinsip buat nikah sekali seumur hidup dan gua sangat amat menghargai yang namanya pernikahan. Di kasus kita mungkin gak ada dasar suka atau cinta tapi siapa yang tau apa yang bakalan terjadi ke depannya. Tapi gua gak maksa, pastiin diri lo nyaman aja karna yang jalanin hubungan ini kan kita berdua jadi gua gak mau bikin keputusan tanpa persetujuan lo. Tapi gua harap lo bisa kasih kita kesempatan"

"Lo gak sakit kan? Atau kesambet apa gitu?" Nina meraih kening Daniel dan memeriksa suhunya

"Nggak Nina. Gua serius..." Daniel meraih tangan Nina dari keningnya dan menatap Nina dengan serius membuatnya sedikit gugup.

"Hmmm gua gak tau harus gimana. Karena dari awal gua gak berharap lebih sama pernikahan ini. Gua juga mikir gak bakalan ikut campur sama kehidupan lo, karna yah.. kayak yang lo bilang kita gak punya perasaan apa-apa dan lo tau sendiri, gua setuju sama pernikahan ini cuma buat nyelamatin perusahaan Papa gua yang hampir bangkrut. Dalam arti lain, gua lagi manfaatin lo" Daniel menatap Nina serius dan mengangguk.

"Thanks udah jujur gua rasa gua juga mau jujur, dulu gua pernah gagal dalam membangun hubungan. Bukan berarti gua jadiin lo percobaan. Tapi gua serius sama setiap perkataan gua. Gua mau bangun hubungan yang serius sama lo." Nina kembali terdiam cukup lama.

“ Entahlah, lo ngerasa ini gombal atau enggak tapi sebenarnya sejak pertama kita ketemu, gua ngerasa kalau lo cewek yang beda. Ada hal dari diri lo yang buat gua nyaman” Nina menatap mata Daniel dalam, mencari kebohongan disana namun tidak dia temukan sedikitpun.

“Gua gak tau harus bilang apa dan gua belum bisa jawab soal permintaan lo yang ini. Gua…”

“Gak papa, gua gak mau bikin lo merasa terbebani. Tapi setelah ini, tolong jangan menghindar dari gua ya. gua takut lo malah menjauh dari gua karna permintaan bodoh gua”

Setelah perbincangan hari itu, tentu saja menciptakan sesuatu yang canggung bagi mereka.

Nina kerap menghindari kontak mata dengan Daniel atau bahkan akan menghindar saat mereka akan papasan.

Daniel menyadari perubahan sikap Nina yang sedikit menjaga jarak darinya, namun dia tidak putus asa.

Perlahan, Daniel mencoba meraih Nina kembali dengan setiap perhatian-perhatian kecil dan batasan yang dia hormati. Sikap baik dan manis Daniel yang selalu memperhatikan setiap hal kecil perlahan membuat Nina semakin nyaman berada di dekat suaminya itu.

Kontak fisik menjadi suatu hal yang sering di lakukan oleh Nina dan Daniel. Hubungan yang semakin membaik dan rasa canggung yang perlahan berubah menjadi nyaman.

***

Suara ketukan pintu terdengar di ruang kerja Daniel. Kakinya melangkah membuka pintu dan mendapati Nina disana.

"Nina? Lo belum tidur?" Daniel mempersilakan Nina untuk masuk.

"Gua gak bisa tidur. Lo lagi ngapain?" Matanya melihat ke arah meja dengan beberapa tumpukan dokumen.

"Gua lagi meriksa beberapa pekerjaan. Mau masuk?" Nina mengangguk dan mengikuti Daniel masuk.

"Bukannya Oma larang lo buat masuk kantor?"

"Buat masuk kantor iya. Tapi gua rada kurang tenang kalau belum meriksa laporan yang menurut gua cukup penting" Nina mengangguk.

"Lo gak ada asisten gitu?"

"Ada, ada sekretaris juga tapi lagi tugas ke luar kota dan sekretaris gua lagi cuti lahiran. Lo mau cerita atau ngobrol? Gua bisa temani sih" Nina menggelengkan kepalanya.

"Nih, gua buatin kopi. Gua gak tau pas buat selera lo atau nggak" Daniel meraih kopi buatan Nina dan meletakkannya di meja. Saling berbagi perhatian kecil menjadi kebiasaan yang baru bagi mereka.

"Lo lanjut aja, gua mau disini dulu sebentar. Tapi kalau lo ijinin sih." Daniel menatap lekat pada wajah nina yang masih berdiri di ambang pintu.

"Ya boleh lah, masuk aja. Senyaman lo aja" Daniel kembali ke mejanya sementara Nina masuk dan duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.

Setelah berapa saat ternyata Nina merasa bosan juga, matanya tertuju pada Daniel yang tengah fokus memeriksa dokumen dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya.

"Ganteng juga lo pake kacamata" Goda Nina.

"Baru sadar lo? Gua mau gimana pun pasti tetep ganteng. Tiap hari lo bakalan liat kegantengan gua yang paripurna" Nina berdecak sebal.

"Nyesel gua muji lo. Eh tapi seru gak sih kerja di kantoran gitu?"

"Seru" Kata Daniel dengan masih tetap menatap pada berkas di tangannya.

"Seru apaan, lo pasti gak punya banyak temen kan?" Daniel menatap Nina dan mengangguk.

"Hmm bisa dibilang iya. Tapi gua punya banyak rekan bisnis yang menurut gua menguntungkan dan bisa di bilang teman juga sih."

"Banyak rekan tapi kalian saling menguntungkan dan mungkin saling ngejatuhin juga. Berarti pertemanan kalian gak ada yang tulus" Ledek Nina dan dibalas anggukan oleh Daniel.

"Ya dalam dunia bisnis emang gitu. Udah bukan rahasia lagi. Saling memanfaatkan segala kesempatan buat raih keuntungan sebesar-besarnya, kalau gak kuat ya bakalan tereliminasi oleh waktu."

"Kok gua gak gitu ya"

"Kasus lo beda. Gua aja curiga kok Florist lo bisa rame terus padahal lo nya aja main buka tutup sesuka hati. Pake penglaris ya lo? Pake dukun?"

"Hah? Gua? Cewe seimut gua pake dukun-dukunan!? Ogah!!. Gua cuman mengandalkan keberuntungan yang selalu berpihak sama gua dan gua gak terlalu ngejar yang namanya keuntungan gede. Mengalir aja gitu kayak air dan untungnya gua selalu untung"Nina tertawa kecil sementara Daniel mengangguk dan tersenyum mengiyakan pernyataan Nina.

"Lucky you.." Ucapnya lembut.

"Eh lo gak bakal larang gua kan buat tetep jalain bisnis gua?"

"Ya enggak lah, walaupun lo istri gua, gua gak berhak buat ngelarang lo ngelakuin apa yang lo suka"

"Ya siapa tau aja kan"

Daniel menyesap kopi yang sempat dibuat oleh Nina sebelumnya dan terasa pas untuknya. Rasa yang baru namun sukses membuatnya suka.

"Lo pakein apa di kopi gua?"

"Pake cinta" Alis nina naik turun menggoda Daniel sementara Daniel menatap datar dan membuat Nina tertawa.

"Kaku amat lo. Gua pakein gula merah" ucap Nina singkat dan kembali menatap layar ponselnya.

"Thanks gua baru tau kalau kopi bisa dipakein gula merah. Besok-besok buatin lagi ya..?"

"Hmmm" Nina menjawab singkat sambil mulai rebahan di sofa.

Beberapa jam berlalu, Daniel meregangkan otot-otot badannya yang terasa pegal setelah memeriksa beberapa dokumen. Matanya tertuju pada Nina yang sudah tertidur di sofa entah sejak kapan.

Dia melangkah pelan menuju Nina dan berlutut di lantai menyamakan posisi dengan wajah Nina. Ponselnya masih menyala, memutar film yang Nina sempat tonton sebelumnya. Daniel meraih ponsel itu, dan meletakkan di meja.

"Nina..." Tangannya terulur mengusap lembut rambut Nina. Senyuman tipis terlukis di bibir Daniel melihat Nina yang tertidur dengan nyenyak dan tidak terganggu dengannya. Matanya tertuju pada bibirnya yang merah natural. Perlahan, Daniel memajukan wajahnya dan mengecup sekilas bibir merah itu.

Nina menggeliat di tidurnya namun tidak terbangun. Daniel meraih selimut yang memang selalu tersedia disana dan menutup tubuh Nina agar hangat.

Setelah memastikan Nina tidur dengan nyaman, Daniel kembali ke meja kerjanya dan sesekali menatap Nina yang tengah tertidur sembari menyentuh bibirnya dan tersenyum seperti orang bodoh.

Sensasi ciuman yang dia curi dari bibir Nina masih terasa di bibirnya.

"Gua kayaknya udah gila. Gimana bisa gua cium dia pas lagi tidur. Tanpa seijinnya lagi..." Daniel menggeleng dan melanjutkan pekerjaannya.

More Chapters